Pelaksanaan
demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang
Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal
3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau
parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di
Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai
politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti
memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi
liberal adalah sebagai berikut :
1.
Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
2.
Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
3.
Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
4.
Perdana Menteri diangkat oleh Presiden
Kabinet Natsir (6 September
1950-21 Maret 1951)
Moh. Natsir merupakan perdana menteri pertama di
Indonesia pada masa Demokrasi Liberal yang berasal dari Partai Masyumi. Kabinet
yang dibentuk oleh beliau merupakan kabinet koalisi Masyumi dengan Partai
Indonesia Raya, Parindra, Partai Katolik, Parkindo, dan PSII. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat
pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
·
SOSIAL
BUDAYA DALAM KABINET NATSIR
Natsir berpikir bahwa pendidikan di Indonesia sangat
efetif bila didasarkan pada ajaran islam. Berikut adalah gagasan Natsir
terhadap pendidikan dan pengaruhnya bagi Indonesia
a.
Tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam
hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana
untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan
tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara
sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan
anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al -
karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar
dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan
manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya
selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat
- sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan
menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan.
b.
Tentang
tujuan pendidikan Islam.
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya
adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia
yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan
bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
c.
Tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya
yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang
pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama
Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan
telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan
-penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam
dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian
pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri
termasuk orang yang ramah.
d. Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep
pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan
pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan
universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor,
17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi Didikan Islam serta dalam tulisannya di
Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar Pendidikan,
dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik
tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat
syahadat.
e. Tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar
perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini,
Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan
mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda,
masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
f.
Tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J.
Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju,
sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut
pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan
akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini,
Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan
pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan
kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan
HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari
ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya (
alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Kabinet Sukiman (26 April
1951-23 Februari 1952)
Setelah
Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono
(Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk
kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan,
sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28
hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian menunjukan
Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur
dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini
terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI) yang dipimpin
oleh Soekiman.
Pada masa Kabinet Sukiman bermunculan berbagai
gangguan keamanan, sepertiDI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan.
Kabinet ini jatuh disebabkan kebijakan politik luar negerinya diangap condong
ke Serikat. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act
(MSA), isi perjanjian Mutual Security Act (MSA) adalah kerjasama antara Menteri
Luar Negeri dalam kabinet Sukiman, yaitu Ahmad Subarjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat untuk Indonesia kala itu, yaitu Merle Cochran.
Pokok dari MSA berupa Pertukaran Nota Keuangan antara kedua
negara. Hasil dari pertukaran nota tersebut pemerintah Amerika Serikat akan
memberikan bantuan di bidang ekonomi dan militer. Namun pada saat yang
sama dalam perjanjian itu juga tercantum sebuah poin yang
membatasi kebebasan politik luar negeri pemerintah Indonesia.
Dalam hal ini kebijakan politik luar negeri pemerintahan Indonesia harus
memperhatikan kepentingan luar negeri pemerintah Amerika Serikat.
Kebijakan Menlu Ahmad Subarjo tersebut, sebagai representasi dari kabinet
Sukiman, dianggap tidak sejalan lagi dengan politik luar negeri pemerintah
Indonesia "yang bebas aktif", tidak memihak antara Blok Barat
dan Blok Timur (Latar politik luar negeri dunia kala itu). Oleh sebab itu
kabinet Sukiman ini kemudian dilengserkan oleh DPR.
Dampak Positif Perjanjian MSA
1.
Meningkatnya
keamanan negara Indonesia.
2.
Perekonomian negara
Indoneisa semakin maju
3.
Terhadangnya paham
komunis masuk ke Indonesia
4.
Terjalinnya sebuah
kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dampak Negatif Perjanjian MSA
1.
Lengsernya Kabinet
Sukiman
2.
Tidak maksimalnya
pembengunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet sukiman
Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2
Juni 1953)
Pada
tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan
Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian
menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu
berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,
sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI,
Masyumi, dan PSI.
Pada masa Kabinet Wilopo
terjadi peristiwa Tanjung Morawa yang merupakan salah satu peristiwa berdarah yang cukup
terkenal di Indonesia.
Peristiwa Tanjung Morawa
terjadi pada 16 Maret 1953 di daerah Tanjung Morawa (ssekarang bernama
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik
perebutan lahan seluas 255.000 Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit,
teh dan tembakau milik perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging
(DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang
berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet
Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung
Morawa muncul ketika tanah yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa
harus dikembalikan kepada DPV atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB).
Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan kemerdekaan, namun dengan syarat
pengembalian lahan kepada investor asing tak terkecuali Belanda. Luas tanah DPV
sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha. Tanah seluas 125.000 Ha adalah
tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu 130.000 dikembalikan kepada
pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan
tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk
melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur
Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat
petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani
Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang
awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah
tersebut.
Penolakan tersebut
akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah
mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil
(Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan
bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan
yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian
menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung
Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk
menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian
Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan
mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini,
kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus
1955)
Kabinet Ali merupakan
kabinet keempat yang tidak mendapat dukungan Masyumi, namun kabinet Ali ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam
kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri
Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen
tidak turut serta, dalam hal ini NU kemudian mengambil alih sebagai kekuatan
politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa
Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya
beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politik pada waktu
revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi
terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat
antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan
penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan
melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri.
Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha
yang serius pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis
menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan
Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih
terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan
antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara
Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27
Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara
nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat
tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu
memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan
Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya
kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12
Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam
kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
Kabinet Burhanudin
Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
Kabinet Ali
selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap
berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi. Prestasi gemilang
Kabinet Burhanudin Harahap adalah
keberhasilannya menyelenggarakan pemilu pertamam kali pada tahun 1955.
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955
mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November.
Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari
jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada
saat itu. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan
perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu
mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan
hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan
Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap
300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak
partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga
DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi. Sesuai dengan tujuannya
pemilu 1955 dibagi menjadi 2 tahap yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR dan
Pemilu untuk memilih anggota konstituante.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante,
juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni
1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia
wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR,
Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Meskipun Kabinet Ali Jatuh,
pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat
Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu
berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari
pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu
tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang.
Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi
sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya
selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan
suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah
yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah
yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada
lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan
suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik.
Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat
sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati
rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye
simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa
ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk
menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan
biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis
pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara
Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah
satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja
panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
Kabinet Ali
Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate
untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan
hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2,
muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr. Assaat.
Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada
pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr. Assaat yang
pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak
pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan
orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai
bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan
kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut
pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan
menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan
yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan
Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai
"asli".
Gerakan Asaat memberikan perlindungan
khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang
perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap gerakan ini
terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa
pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata
kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang
membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan
pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta
munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
Kabinet Djuanda/Karya (9 April
1957-5 Juli 1959)
Kabinet
Djuanda merupakan kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam
menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik. Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Juanda yang ditunjuk oleh
Presiden Soekarno tanpa melalui Formatur. Kabinet djuanda sering disebut
kabinet karya karena disusun berdasarkan konsep Zaken Kabinet. Salah satu perstasi Kabinet Djuanda ada;ah
menentukan garis kontinental batas wilayah laut Indonesia melalui deklarasi
djuanda.
·
Keterkaitan Deklarasi Djuanda Dengan
Teritorial Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia adalah
negara kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar dan
kecil. Pada awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai
secara penuh negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut
territorial, melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional.
Hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait
dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam
pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur
dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau
yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia
jelas merasa dirugikan karena kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh, batas
3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan
pulau-pulau di Indonesia, sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak
dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia, dan kekayaan alam yang
terdapat di luar 3 mil tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia. Melihat
kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum
teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
”Segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan
dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di
bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia”.
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat
bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat
dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai
perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia
yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut
bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957
oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa
tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah
bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat
pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan
wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah
dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar.
Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya
hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2. Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda
membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut
Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini,
pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan
negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva
pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam
deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State
Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima
di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang
ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The
Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifkasinya
dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun,
akhirnya pada 16 November 1994, setelah diratifkasi oleh 60
negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini
tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai
konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga
tahun 1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13
Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati
dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal
13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
·
Munculnya PRRI/ Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta
bermula dari adanya persoalan di dalam Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas
minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa
tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan
kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidak adilan
yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah
pusat dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan
pembentukan dewan - dewan daerah sebagai alat pejuang tuntutan pada Desember
1056 dan Februari 1957.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian
mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah diwilayahnya masing – masing.
Beberapa tokoh sipil dari pusat pun mendukung meraka bahkan bergabung
kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad
Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi
krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum
pemerintah pusat, menuntut agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh
pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958
Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di
Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk
Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah
upaya untuk menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi
PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut
dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI.
Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh
masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah,
menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan
hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu
langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak
yang diam – diam ternyata didukung oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan
dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat
indonesia yang bisa saja dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan
PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
Ø
Upaya Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan
PRRI dan Permesta adalah :
1.
Dalam mengatasi dewan banteng pemerintah
mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk mengetahui lebih dalam tentang
tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini tidak berhasil karena A. Husein
tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi resmi pemerintah pusat.
2.
Dalam menanggapi adanya ultimatum kabinet
juanda memberikan tanggapan dengan tindakan tegas yaitu memeacat A.
Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang kemudian disusul dengan gerakan
KSAD Nasution pada tanggal 12 februari 1958 dengan membekukan
daerah komando sumatra tengah.
3.
Dengan diproklamirkan PRRI pada tanggal 15
Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya operasi meliter yaitu operasi 17
agustus operasi gabungan AD, AL dan AU yang dipimpin oleh A. Yani.
4.
Dalam menghadapi Permesta pemerintah
melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor Runturambi dan dilanjutkan dengan
Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo. Yang kemudian untuk menangani
pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan morotai oleh AUREV operasi Merdeka
yang terdiri dari operasi Saptamarga dan operasi Mena. Dengan penguasaan
terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta. Hingga pada tahun 1961 perlawanan
bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI dan Permesta.
Demikian penjelasan mengenai kondisi politik Indonesia
pada Masa Demokrasi Liberal.
Komentar
Posting Komentar